FSVA Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2023
Konsep
Definisi Ketahanan Pangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 merupakan kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Kerangka konseptual Ketahanan Pangan dalam penyusunan FSVA 2023 dibangun berdasarkan 3 pilar Ketahanan Pangan:
- ketersediaan pangan;
- keterjangkauan pangan; dan
- pemanfaatan pangan; serta mengintegrasikan gizi dan keamanan pangan di dalam keseluruhan pilar tersebut.
Pilar Ketersedian Pangan: kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.
Pilar Keterjangkauan Pangan: kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan yang bergizi, melalui 1 (satu) atau kombinasi dari berbagai sumber seperti: produksi dan persediaan sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan. Dalam kerangka Ketahanan Pangan, keterjangkauan menjadi penting karena Pangan yang tersedia dalam jumlah yang cukup di suatu wilayah bisa jadi tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena keterbatasan fisik, ekonomi atau sosial.
Pilar Pemanfaatan Pangan: penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi. Pemanfaatan Pangan meliputi cara penyimpanan, pengolahan, penyiapan dan keamanan makanan dan minuman, kondisi kebersihan, kebiasaan pemberian makan (terutama bagi individu dengan kebutuhan makanan khusus), distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai dengan kebutuhan individu (pertumbuhan, kehamilan dan menyusui), dan status kesehatan setiap anggota rumah tangga. Mengingat peran yang besar dari seorang ibu dalam meningkatkan profil gizi keluarga, terutama untuk bayi dan anak-anak, pendidikan ibu sering digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk mengukur pemanfaatan Pangan rumah tangga.
Untuk mendukung berjalannya ketiga pilar tersebut diperlukan sumber daya dan lingkungan strategis di antaranya situasi politik dan ekonomi makro yang kondusif, perdagangan internasional dan domestik yang berkeadilan bagi produsen dan konsumen, ketersediaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan, kondisi iklim dan agroekologi serta ketersediaan infrastruktur dan teknologi yang mendukung peningkatan produksi Pangan. Memadainya sumber daya dan lingkungan strategis akan memudahkan kinerja ketiga pilar Ketahanan Pangan untuk mewujudkan tujuan akhirnya yaitu meningkatnya status Pangan dan gizi rumah tangga maupun nasional. Status Pangan dan gizi rumah tangga dan nasional tercermin dari sumber daya manusianya yang dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Metodologi
Penentuan Range Indikator Individu
Penentuan range/cut off point indikator individu menggunakan pendekatan sebaran data empiris pada masing-masing kabupaten/kota. Indikator individu dibagi menjadi 6 (enam) prioritas, kecuali indikator desa/kelurahan yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai menggunakan empat prioritas sesuai kategori yang terdapat pada data Podes.
Analisis Komposit
Pendekatan metodologi yang diadopsi untuk analisis komposit adalah dengan menggunakan metode pembobotan. Metode pembobotan digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan relatif indikator terhadap masing-masing aspek Ketahanan Pangan. Metode pembobotan dalam penyusunan FSVA mengacu pada metode yang dikembangkan oleh The Economist
Intelligence Unit (EIU) dalam penyusunan Global Food Security Index (EIU 2016 dan 2017). Goodridge (2007) menyatakan jika variabel yang digunakan dalam perhitungan indeks berbeda, maka perlu dilakukan secara tertimbang (pembobotan) untuk membentuk indeks agregat yang disesuaikan dengan tujuannya.
Langkah-langkah perhitungan analisis komposit adalah sebagai berikut:
- Standarisasi nilai indikator dengan menggunakan z-score dan distance to scale 0 – 100 (nol sampai seratus).
- Menghitung skor komposit desa dengan cara menjumlahkan hasil perkalian antara masing-masing nilai indikator yang sudah distandarisasi dengan bobot indikator, dengan rumus:
Penentuan bobot dilakukan dengan menggunakan pendekatan proporsional (Tabel 3). Khusus untuk analisis wilayah kelurahan hanya digunakan lima (5) indikator. Mengingat ketersediaan Pangan di perkotaan secara umum tidak dipengaruhi oleh produksi yang berasal dari wilayah sendiri tetapi berasal dari perdagangan antarwilayah, maka pada perhitungan komposit wilayah kelurahan di perkotaan hanya didasarkan pada rasio jumlah prasarana dan sarana ekonomi. Indikator rasio luas lahan pertanian tidak digunakan dalam analisis komposit wilayah kelurahan. Nilai bobot 0,33 atau 1/3 (nol koma tiga pluluh tiga atau satu per tiga) dari indikator rasio luas baku aspek ketersediaan Pangan kemudian dialihkan kepada indikator rasio jumlah prasarana dan sarana ekonomi terhadap jumlah rumah tangga. Bobot untuk setiap indikator mencerminkan signifikansi atau pentingnya indikator tersebut dalam menentukan tingkat Ketahanan Pangan suatu wilayah.
3. Mengelompokan desa/kelurahan ke dalam 6 (enam) kelompok prioritas berdasarkan cut off point komposit. Skor komposit yang dihasilkan pada masing-masing wilayah dikelompokkan ke dalam 6 (enam) kelompok berdasarkan cut off point komposit. Cut of point komposit merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing perkalian antara bobot indikator individu dengan cut off point indikator individu hasil standarisasi z-score dan distance to scale 0-100 (nol sampai seratus).
Hasil perhitungan skor komposit selanjutnya diklasifikasikan kedalam enam prioritas berdasarkan nilai cut off point (ambang batas) komposit. Cut off point komposit diperoleh dari hasil perhitungan antara bobot dengan cut off point indikator individu. Prioritas 1 merupakan prioritas utama yang menggambarkan tingkat kerentanan pangan wilayah yang paling tinggi (sangat rentan), sedangkan prioritas 6 menunjukkan wilayah dengan tingkat Ketahanan Pangan yang paling baik (sangat tahan). Dengan kata lain, wilayah prioritas 1 memiliki tingkat resiko kerawanan Pangan yang lebih besar dibandingkan wilayah lainnya. Meskipun demikian, wilayah yang berada pada prioritas 1 tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rentan rawan Pangan, sebaliknya wilayah pada prioritas 6 tidak berarti semua penduduknya tahan Pangan.
Sumber Data
- BPS: Pusat Data Informasi Kementan 2022
- Potensi Kelurahan 2020, BPS Jumlah Rumah Tangga 2020 dari Sensus Penduduk (SP) 2022
- Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Jumlah Penduduk Kelurahan dari SP 2022, P3KE 2022
- Potensi Kelurahan 2021, BPS 2022
- Data Terpadu Kesejahteraan Sosial 2022
- Potensi Kelurahan 2021, BPS Jumlah Penduduk Tahun 2022